JAKARTA – Idrus Marham menyampaikan apresiasi mendalam terhadap inisiatif Presiden Terpilih Prabowo Subianto yang mengajak para tokoh bangsa yang dikenal kritis untuk duduk semeja dan berdialog. Menurut Idrus, langkah ini mencerminkan kepemimpinan yang otentik dan visioner dalam membangun kebersamaan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
Idrus menyoroti pertemuan awal yang dilakukan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, dengan akademisi Rocky Gerung dan sejumlah tokoh kritis lainnya sebagai langkah konkret menuju dialog yang inklusif. “Prabowo ingin membangun koalisi bukan hanya di level politik transaksional, tapi dalam ruang-ruang dialog yang substantif, yang mengedepankan ide dan gagasan kritis,” ujar Idrus.
Respon positif juga datang dari Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang menilai ajakan Prabowo sebagai upaya membangun iklim kebangsaan yang lebih dialogis, transparan, dan solutif. Bahlil menambahkan bahwa kolaborasi pemikiran antara pemerintah dan kalangan kritis merupakan fondasi penting dalam menciptakan sinergi rasionalitas dan kebatinan keindonesiaan.
Idrus menjelaskan bahwa duduk semeja dengan para pemikir kritis bukan hanya soal mencari legitimasi, tapi mengajak bangsa ini untuk menyatukan pikiran dan perasaan demi menemukan solusi nyata bagi permasalahan nasional. “Dialog kritis yang dilandasi nilai Pancasila, khususnya Ketuhanan Yang Maha Esa, akan membentuk kesadaran kolektif yang utuh: antara rasionalitas dan spiritualitas,” ujarnya.
Prabowo, menurut Idrus, memiliki intuisi kepemimpinan yang tajam dalam membaca kebutuhan zaman. Ia mengajak semua pihak untuk menghidupkan kembali tradisi intelektual yang bertanggung jawab—menggeser kritik dari sekadar atraktif menjadi konstruktif. Dalam hal ini, kebebasan berpikir yang disalahartikan bisa menimbulkan kekacauan moral, etika, bahkan mengarah pada polarisasi sosial.
“Pak Prabowo tidak mematikan kritik, tapi justru ingin mempertemukan kritik dengan solusi. Dialog ini bukan untuk menumpulkan daya kritis, tapi untuk memperkuat rasionalitas dan kebatinan bangsa,” kata Idrus menegaskan.
Idrus juga menyoroti pentingnya membedakan kritik dengan ujaran kebencian. Menurutnya, kritik yang sehat mesti berorientasi pada solusi, bukan pada pelampiasan emosi atau pencarian aib. “Kita tidak boleh membiarkan kritik menjadi ghibah yang justru merusak atmosfer intelektual bangsa.”
Bahlil dalam komentarnya menyebut bahwa ajakan duduk semeja ini adalah bentuk pendidikan politik yang luhur, yang menempatkan tokoh kritis sebagai mitra berpikir dalam upaya membangun bangsa secara inklusif. Ia berharap ruang-ruang diskusi ini akan menjelma menjadi forum yang produktif dan bertanggung jawab dalam membentuk arah kebijakan nasional.
“Bangsa Indonesia adalah satu keluarga besar. Siapa pun posisinya, harus diajak bersama membangun negeri ini. Dan ajakan Pak Prabowo membuktikan bahwa kepemimpinan ke depan berpijak pada nilai-nilai filosofis kekeluargaan dan kebangsaan,” tutup Idrus.






