JAKARTA — Lembaga Opini Hukum Publik (LOHPU) memperingatkan potensi lonjakan pinjaman pemerintah daerah sebagai solusi darurat untuk menutup defisit anggaran di tahun 2026. Peringatan ini disampaikan menyusul proyeksi penurunan drastis Dana Transfer ke Daerah (TKD) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
Penurunan TKD yang mencapai sekitar Rp198,52 triliun, dari Rp848,52 triliun pada 2025 menjadi Rp650 triliun pada 2026, disebut LOHPU sebagai pemotongan terbesar dalam lima tahun terakhir. Padahal, TKD merupakan komponen utama pendapatan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Ancaman Defisit dan Masalah Kapasitas Fiskal
Menurut Direktur LOHPU, Aco Hatta Kainang, penurunan ini sangat mengkhawatirkan karena mayoritas daerah masih memiliki kapasitas fiskal yang rendah, bahkan sangat rendah. Hal ini berdasarkan temuan dalam Peraturan Menteri Keuangan RI No. 65 Tahun 2024 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah.
Temuan LOHPU di lapangan menunjukkan bahwa dengan asumsi Dana Alokasi Umum (DAU) yang berkurang, beberapa daerah tidak lagi dapat membiayai Belanja Pegawai secara memadai. Selama ini, DAU menjadi sumber utama untuk pos belanja tersebut.
“Beberapa daerah terpaksa mengalihkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk menutupi Belanja Pegawai. Ini menjadi masalah besar karena mayoritas daerah masih berstatus ‘Belum Mandiri’ secara fiskal,” kata Aco.
Solusi Berisiko: Pinjaman dan Utang
LOHPU menilai opsi yang tersedia bagi pemerintah daerah sangat terbatas. Peningkatan pajak atau retribusi daerah berpotensi menimbulkan penolakan publik, sementara pengurangan belanja akan mengganggu target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
“Satu-satunya solusi yang paling mungkin adalah melakukan pinjaman,” jelas Aco. Ia menambahkan, skenario ini pernah terjadi selama pandemi COVID-19, ketika banyak daerah berlomba-lomba mengajukan pinjaman melalui PT. SMI, Bank Pembangunan Daerah (BPD), bahkan pinjaman luar negeri.
Untuk mencegah krisis fiskal di daerah, LOHPU menyampaikan beberapa rekomendasi:
- Pemerintah Pusat diminta segera membuat skema pembiayaan APBD khusus bagi daerah dengan kapasitas fiskal rendah dan belum mandiri.
- Pemerintah perlu memperjelas implementasi Pasal 37 dalam PP No. 1 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional, terkait pembiayaan utang daerah yang meliputi pinjaman, obligasi, dan sukuk daerah.
- Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Kementerian Dalam Negeri perlu bekerja sama merancang skema fiskal 2026 untuk APBD, guna mencegah krisis ekonomi dan fiskal di daerah.
- Pemerintah juga perlu memperbarui peringkat krisis fiskal per daerah secara berkala untuk memungkinkan mitigasi risiko yang lebih baik.
“Siaran pers ini kami buat sebagai masukan agar pemerintah dapat mengatasi problem lonjakan pinjaman daerah yang dilakukan untuk menutup defisit belanja,” tutup Aco.