JAKARTA – Polemik pembayaran utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau WHOOSH kepada China Development Bank (CDB) kian memanas setelah Menteri Keuangan (Menkeu) bersikeras menolak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pelunasannya. Lembaga Opini Hukum Publik (LOHPU) menilai sikap Menkeu tersebut sangat wajar karena mendasarkan pada peraturan yang kedudukannya lebih tinggi dan saling bertentangan dengan kebijakan terbaru proyek WHOOSH.
LOHPU bahkan mencium adanya “perang” antar-regulasi yang berpotensi memicu ketidakpastian hukum dan mengancam performa pembayaran utang negara. Mereka mendesak Presiden untuk turun tangan atau mendorong sengketa kewenangan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kepres 59/1972 vs Perpres WHOOSH: Konflik Aturan Penjaminan Utang
Direktur LOHPU, Aco Hatta Kainang, S.H., menjelaskan bahwa akar polemik ini terletak pada konflik regulasi. Menkeu menolak menggunakan APBN dan menyerahkan kewajiban pembayaran utang kepada PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) atau BP Danantara sebagai holding BUMN.
Menurut Aco, sikap Menkeu didukung oleh Keputusan Presiden (Keppres) No. 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri. Pasal 3 Keppres ini secara tegas melarang BUMN menerima tawaran kredit luar negeri apabila disertai keharusan jaminan dari Pemerintah, BI, atau Bank Pemerintah. Tujuannya jelas, agar utang tersebut tidak menimbulkan kewajiban apa pun bagi Pemerintah.
“Regulasi ini menempatkan posisi Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan sebagai penatausaha dan pengawas penerimaan kredit luar negeri. Wajar jika Menkeu bersikap jelas menolak, karena ada Keppres yang masih berlaku dan belum dicabut,” ujar Aco dalam siaran pers, Kamis (17/10/2025).
Awalnya, Perpres No. 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Cepat memang sejalan dengan Keppres 59/1972, yang secara eksplisit menyebut proyek tersebut tidak menggunakan APBN dan Jaminan Pemerintah (Pasal 4 ayat 2).
Namun, masalah muncul ketika terbit Perpres No. 93 Tahun 2021 (perubahan atas Perpres 107/2015). Beleid baru ini justru memberikan ruang penggunaan APBN dan penjaminan dari pemerintah (Pasal 4 ayat 3 huruf a dan b, serta Pasal 6).
“Hal ini jelas menyalahi Keppres 59/1972 yang masih berlaku. Perpres 93/2021 hanya mengatur pengecualian Keppres 59/1972 dalam Pasal 4 angka 8. Padahal, berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, kedudukan Keppres dan Perpres adalah setara, dan peraturan yang setara tidak boleh dikesampingkan begitu saja,” tegas Aco.
Rasio Kecukupan Modal dan Permintaan Restrukturisasi Utang
Selain konflik regulasi, LOHPU juga menyoroti kejelasan pembayaran utang. Meskipun Menkeu menolak menggunakan APBN, di saat yang sama BP Danantara justru meminta Kementerian Keuangan untuk melakukan pembayaran, sementara Luhut Binsar Pandjaitan dikabarkan menawarkan proses restrukturisasi utang kepada CDB.
Kekhawatiran LOHPU juga tertuju pada PMK No. 89 Tahun 2023 tentang tata cara pelaksanaan pemberian pinjaman atas proyek WHOOSH kepada Badan Usaha Penjamin Infrastruktur (BUPI).
“Apakah rasio kecukupan modal atau Gearing Ratio BUPI dalam melakukan penjaminan di proyek ini berjalan sesuai ketentuan atau tidak? Ini perlu diaudit. Semua polemik ini harus punya jalan keluar karena menyangkut performa negara dalam pembayaran utang luar negeri,” tambahnya.
LOHPU berharap Presiden Prabowo dapat melakukan telaah komprehensif dan mengambil sikap tegas untuk menyelesaikan konflik regulasi ini.
Sebagai alternatif penyelesaian hukum, LOHPU menyarankan BP Danantara mengajukan permohonan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Meskipun BP Danareksa bukan lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945, lembaga ini diatur dalam Undang-Undang. Kami berharap MK punya terobosan dalam memeriksa dan memutus soal wewenang pembayaran utang kereta cepat, apakah itu dana BP Danareksa atau dana yang dikeluarkan Menteri Keuangan,” pungkas Aco.